Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Napoleon Bonaparte Raja Louis XVI dan Revolusi Perancis

Eksekusi Pancung Raja Louis XVI

Secara garis besar kronologi berlangsungnya Revolusi Perancis terdiri atas tujuh tahapan sebagai berikut.

  1. Etats generaux, yaitu dibukanya kembali Dewan Permusyawaratan Rakyat pada 5 Mei 1789.

  2. Assemblee Nationale, yaitu pembentukan Dewan Nasional oleh golongan yang mewakili rakyat, sebagai perwakilan bangsa Perancis, pada 17 Juni 1789.

  3. Constituante, pemerintahan baru (rakyat oposisi) yang menggantikan rezim pemerintahan Orde Lama (raja dan para bengsawan) (1789-1791).

  4. Legislatif, pemerintahan borjuis (bangsawan baru), dengan bentuk negara berupa constitutionale monarchie (1791-1792).   

  5. Convention, pemerintahan rakyat jelata di bawah pimpinan Robespierre, dengan bentuk Republik (1792-1795).

  6. Directoire, kembalinya pemerintahan borjuis dengan membagi kekuasaan eksekutif kepada lima orang directeur (1795-1799).

  7. Consulat, pemerintahan yang dipimpin oleh tiga orang consul, dan mulai munculnya Napoleon sebagai seorang otoriter (1799-1804).

    Secara politis Revolusi Perancis dimulai pada 17 Juni 1789, namun resminya revolusi tersebut jatuh pada 14 Juni 1789 dengan diserbunya Penjara Bastille. Adapun rincian berlangsungnya peristiwa Revolusi Perancis sebagai berikut.


    Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa para bangsawan menolak untuk membayar pajak dan mengusulkan untuk membuka kembali Etats generaux (Dewan Permusyawaratan Rakyat). Permintaan dari kalangan bangsawan tersebut disetujui oleh raja dengan dibukanya kembali dewan tersebut pada 5 Mei 1789, kemudian diadakanlah sidang yang diikuti oleh tiga golongan, yaitu golongan I dan II (tiap-tiap golongan terdiri atas 300 orang) dari kalangan bangsawan, serta golongan III (terdiri atas 600 orang) yang berasal dari kalangan rakyat.  


    Dalam persidangan ternyata terjadi perselisihan antara golongan I dan II dengan golongan III mengenai permasalahan pengambilan suara. Pengaruh raja yang begitu lemah, menyebabkan raja tidak dapat mengatasi perselisihan tersebut. Akibatnya, golongan III semakin berani untuk tetap beroposisi dan rakyat pun semakin bertambah percaya diri.


    Pada 17 Juni 1789 wakil-wakil golongan III memproklamasikan Etats Generaux sebagai Assemblee Nationale (Dewan Nasional) yang mengubah sidang golongan-golongan menjadi sidang seluruh rakyat tanpa golongan. Hal ini merupakan suatu revolusi karena pada hakikatnya hal tersebut menunjukkan perubahan suatu masyarakat yang feodalistis menjadi demokratis. 


    Pada 20 Juni 1789 Assemblee Nationale bersumpah bahwa mereka tidak akan bubar sebelum Prancis mempunyai UUD dan mereka menamakan diri sebagai Constituante. Setelah itu, banyak di antara kalangan bangsawan dan agamawan yang menggabungkan diri ke dalam Constituante tersebut. Perintah raja untuk membubarkan Constituante pun mengalami kegagalan. 


    Pada masa ini terjadi pertentangan antara kubu Chouans dan Feuillants dengan kubu Gironde dan Montagne, yang dimenangkan oleh kubu Gironde dan Montagne.


    Pada 14 Juli 1789 rakyat Perancis menyerbu penjara Bastile yang merupakan lambang absolutisme monarki karena di dalamnya dipenjarakan para pemimpin rakyat yang dulu berani menentang kekuasaan dan kesewenangan pemerintah monarki absolut. 


    Alasan penyerangan terhadap Penjara Bastille tersebut adalah adanya kabar bahwa raja yang gagal membubarkan Constituante telah mengumpulkan tentara di sekitar Paris untuk menggagalkan revolusi dan rakyat pun membutuhkan senjata untuk mempertahankan diri, sehingga mereka berusaha mengambil persediaan senjata di Penjara Bastile.


    Dengan direbutnya penjara tersebut dianggap sebagai permulaan dari revolusi dan dijadikan sebagai "Hari Nasional Perancis". Bendera Bourbon (raja) pun diganti dengan bendera nasional (biru, putih, merah), dan tentara nasional dibentuk di bawah pimpinan Lafayette. Sejak itu raja dan golongan bangsawan tidak berkuasa lagi, namun rakyat jelatalah yang berkuasa dan memegang tampuk pimpinan negara. 


    Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintahan baru adalah menghapus Ancien Regime (pemerintahan lama) dan menyusun pemerintahan baru. Penghapusan dijalankan secara tegas, semua hak-hak istimewa dan sebutan-sebutan bangsawan dihapuskan, gilda dihapuskan sehingga perdagangan menjadi bebas. Kaum agama dijadikan pegawai biasa dan semua milik gereja disita. Hal ini menimbulkan pertentangan antara kaum revolusioner Perancis dengan paus di Roma. Akibatnya, kaum agama dianggap sebagai musuh revolusi dan revolusi menjadi bersifat anti agama Katolik Roma. Selain itu, pemerintahan lama yang telah hancur digantikan oleh pemerintahan baru yang disusun oleh kaum revolusioner.


    Dasar dari pemerintahan baru ini adalah Declaration des droits de l'homme et du citoyen, yaitu pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, yang diumumkan pada 27 Agustus 1789.


    Pada 14 Juli 1790 UUD Prancis telah berhasil dirancang dan disahkan. Pada masa ini terjadi pertentangan antara partai pemenang, yaitu antara Gironde dan Montagne. Namun, pertentangan ini akhirnya dimenangkan oleh kelompok Gironde sehingga Prancis menjadi negara constitutionale monarchie. Sifat Constituante adalah liberal. Rakyat dipimpin dan diperintah oleh kaum borjuis yang menggantikan kedudukan bangsawan dan merupakan bangsawan baru di Prancis.


    Setelah penyusunan UUD selesai, maka Constituante bubar pada 1791 dan digantikan dengan pemerintahan yang disebut Legislatif. Pada masa ini penuh dengan kekacauan karena terjadinya perebutan kekuasaan antara kaum borjuis (bangsawan baru) yang menginginkan monarki konstitusional dengan rakyat jelata yang menghendaki negara republik.


    Kekacauan ini dipicu oleh masalah raja. Kaum borjuis menginginkan negara Konstitusional Monarki karena memandang bahwa raja yang lemah akan berguna bagi mereka sebagai alat dan perisai untuk mengendalikan rakyat yang semakin tidak terkontrol, sehingga perjuangan rakyat untuk ikut merasakan hasil revolusi dituduh oleh kaum Borjuis sebagai tindakan anarki.


    Di lain pihak, rakyat jelata menghendaki negara berbentuk Republik. Hal itu karena raja tidak dapat mereka percayai lagi, setelah raja melakukan pelanggaran sumpah setianya terhadap UUD, sehingga dalam penilaian rakyat raja merupakan seorang pengkhianat yang harus dihukum daripada dipertahankan kedudukannya.


    Keyakinan rakyat tersebut diperkuat dengan adanya Perang Koalisi I. Austria dan Prusia bersatu untuk menyerbu Perancis dan mengancam rakyat Prancis dengan hukuman yang seberat-beratnya bila berani mengganggu raja (Louis XVI) beserta keluarganya. Hal ini menyebabkan rakyat memandang bahwa Louis XVI mempunyai hubungan dengan pihak asing yang akan menyerbu dan menggagalkan revolusi dan hal ini menunjukkan bahwa raja merupakan seorang pengecut dan pengkhianat cita-cita revolusi. Oleh sebab itu, Raja Louis XVI dan keluarganya ditangkap untuk diadili lebih lanjut.


    Dengan adanya Perang Koalisi I yang bermaksud untuk menghentikan revolusi justru menambah semangat rakyat Perancis untuk melakukan revolusi. Hal ini juga diperkuat dengan diperolehnya kemenangan atas tentara Prusia di daerah Valmy.


    Tanda-tanda akan adanya teror sudah mulai tampak dengan dibunuhnya para bangsawan yang telah ditawan. Kaum borjuis yang pada saat itu masih memimpin revolusi mulai kehilangan kendali atas rakyat jelata yang semakin bersifat radikal dan anarki.


    Masa convention dimulai dengan pertentangan antara kelompok Montagne dengan Gironde mengenai Raja Louis yang telah melarikan diri dan di tangkap kembali. Montagne (rakyat) menginginkan agar raja dihukum karena telah menghianati sumpahnya terhadap UUD, sedangkan Gironde (kaum borjuis) menginginkan agar raja dipertahankan untuk mengendalikan rakyat yang mulai menampakkan sifat agresif. Namun, pertentangan kali ini dimenangkan oleh kelompok Montagne sehingga kerajaan dihapuskan dan diganti menjadi Republik (1792), kemudian Louis XVI dihukum mati.


    Adanya intervensi pihak asing, yaitu dengan bergabungnya Austria dan Prusia untuk menyerbu Perancis dan menghentikan Revolusi Prancis dalam Perang Koalisi I menyebabkan Revolusi Perancis menjadi semakin kuat karena rakyat Prancis menganggap Perang Koalisi I itu sebagai usaha dari raja-raja untuk menindas kembali rakyat yang telah bebas. Interpensi yang bertujuan untuk menyelamatkan Louis XVI sekeluarga, justru menjadi sebaliknya dan malah menyebabkan mereka semua terbunuh.


    Convention merupakan kemenangan rakyat jelata atas kaum borjuis. Rakyat jelata ini lazimnya disebut commune, yang artinya rakyat dari comune (kota praja) Paris, karena rakyat Paris-lah yang menjadi pelopor dan dijadikan sebagai pusat revolusi.


    Ketika kelompok Montagne memegang pemerintahan, kondisi Prancis begitu kritis, karena musuh dari luar berhasil mengalahkan Prancis. Ditambah lagi terjadinya pemberontakan-pemberontakan dari dalam negeri (pemberontakan golongan bangsawan dan kelompok Gironde), kondisi ekonomi mengalami kekacauan, uang kertas merosot nilainya dan terjadinya inflasi. Di kota terjadi kekurangan makanan karena para petani hanya mau menjual bahan makanan kalau dibeli dengan uang logam, yang digunakan sebelum berlangsungnya Revolusi Perancis. Tindakan para petani ini sebetulnya adalah sabotase dari kaum Gironde, yang kebanyakan mereka merupakan tuan tanah, untuk menjatuhkan pemerintahan Montagne.


    Keadaan negara yang kacau balau menyebabkan kaum Montagne yang merupakan pemegang pemerintahan bertindak tegas dan radikal, demi keselamatan dan stabilitas negara. Tindakan-tindakan inilah yang menimbulkan akses negatif, sehingga pemerintahan Montagne, yang pada saat itu berada di bawah pimpinan Robespierre, disebut sebagai pemerintahan teror. Adapun kebijakan-kebijakan yang diambil Robespierre sebagai berikut.


a. Membentuk pemerintahan revolusioner yang bersifat sementara, serta membentuk Comite de Surete Generale sebagai badan eksekutif.


b. Adanya kebijakan Levee en masse, yaitu keharusan bagi semua orang yang dapat bertempur untuk masuk tentara, demi menyelamatkan negara. Hal ini karena pada saat itu Prancis dalam keadaan bahaya akibat adanya pemberontakan dari golongan bangsawan di daerah Vendee dan musuh dari luar telah berhasil menguasai daerah Verdun.


c. Negara dibersihkan dari para penghianat dengan tindakan-tindakan yang radikal, sehingga Robespierre muncul sebagai seorang diktator.


d. Kekayaan milik gereja dan para bangsawan yang melarikan diri ke luar negeri disita dan dijual untuk kepentingan negara.


e. Pemilik tanah dan petani diberi sebagian dari hasil tanahnya untuk mencukupi kehidupan mereka, sedangkan sisanya harus dijual kepada negara dengan harga maksimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.


    Tindakan-tindakan yang diambil oleh pemerintah Montagne berhasil dengan baik. Musuh dari luar dapat dihalau, musuh dari dalam dapat diatasi, inflasi dapat ditahan dan keadaan ekonomi mulai membaik. Dipandang dari sudut yuridis pemerintahan Montagne di bawah pimpinan Robespierre memang merupakan pemerintahan teror, namun dipandang dari sudut politis pemerintahan inilah yang menyelamatkan Perancis dari keruntuhan.


    Setelah keberhasilannya tersebut, Robespierre menjadi tokoh yang sangat populer di kalangan masyarakat Prancis. Namun, setelah kondisi normal kembali, terjadi Pemberontakan Thermidor (1794) yang berhasil menggulingkan pemerintahan Robespierre dan menghukumnya dengan guillotine (alat untuk eksekusi pancung khas Prancis) sehingga berakhirlah pemerintahan Robespierre dan digantikan kembali oleh kaum Gironde.


    Adapun yang menjadi penyebab jatuhnya pemerintahan Robespierre adalah adanya keinginannya untuk membagi rata semua milik rakyat, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan hasil dari Revolusi Prancis. Namun, kaum Gironde yang terdiri dari tuan-tuan tanah yang kaya, menentang hal itu dan menuduh Robespierre menyalahi dasar Revolusi Prancis yang termaktub dalam Declaration des Droits de l'homme et du citoyen. Akhirnya mereka melakukan Pemberontakan Thermidor.


    Kejatuhan pemerintahan Robespierre juga disebabkan juga oleh tindakan teror dan arogannya untuk memaksakan kehendaknya. Dulu rakyat dapat menerima tindakan teror pemerintahan Robespierre karena keadaan negara yang sedang kacau, namun setelah kondisi stabil, tindakan tersebut menjadi tidak disukai oleh rakyat karena mereka telah jemu melihat terjadinya pertumpahan darah.


    Setelah Robespierre jatuh, tidak ada lagi orang yang disegani, sehingga terjadilah krisis gezag (kewenangan). Keadaan menjadi kacau kembali setelah kaum borjuis berkuasa lagi dan mengadakan teror balasan terhadap kaum Montagne yang disebut "teurreur blanche" (teror putih). Mereka menghapuskan peraturan harga maksimum, sehingga nilai mata uang menjadi merosot, inflasi merajalela, keadaan ekonomi kacau, dan rakyat berontak menuntut adanya bahan makanan.


    Kaum Gironde (borjuis) yang telah menang atas kaum Montagne (rakyat) kemudian membubarkan Convention, selanjutnya mereka membentuk pemerintahan directoire. Pemerintahan ini hanya merupakan kelanjutan dari pemerintahan Gironde. Mereka lebih suka bekerja sama dengan pihak militer yang dipimpin oleh Napoleon, daripada dengan kaum Montagne yang merupakan kelompok rakyat jelata.


Napoleon Bonaparte

    Sifat lemah dari pemerintahan Gironde, yang korup dan tidak berwibawa menyebabkan rakyat menjadi apatis. Akhirnya, pada 1795 muncullah Napoleon Bonaparte sebagai seorang tokoh militer yang berani dan tangguh di medan pertempuran, sehingga militer Prancis menjadi sangat kuat dan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Hal ini membuat rakyat Prancis menjadi segan dan mengagung-agungkan Napoleon.


    Pada 1799, setelah kembali dari Mesir, dengan kekuatan militer Napoleon berhasil membubarkan pemerintahan Directeur dan membentuk pemerintahan baru yang disebut Consulat. Pada hakikatnya Prancis bukan merupakan pemerintahan demokrasi, melainkan sebuah pemerintahan otokrasi yang dipimpin oleh Napoleon sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Prancis. Berbagai kebijakan negara ditentukan oleh Napoleon.


    Langkah-langkah yang diambil Napoleon dan merupakan kebijakannya dalam memimpin pemerintahan, terutama dalam bidang politik, di antaranya adalah:


a.    Membentuk pemerintahan yang stabil dan kuat, dengan cara menetralisir pemerintahan, administrasi secara seragam, menjamin keadilan dengan membuat kitab undang-undang hukum perdata (Code Civil) dan peraturan-peraturan hukum yang sebelumnya berbeda di tiap provinsi, menjadi seragam bagi seluruh wilayah negara.


b.    Mengembalikan stabilitas keamanan dalam negeri, dengan cara menghilangkan paham provinsialisme dengan membagi negara ke dalam beberapa provinsi yang batas-batasnya diubah, kemudian menerima kembali para bangsawan yang pada saat revolusi melarikan diri ke luar negeri, dengan syarat mereka tidak boleh menuntut kembali harta kekayaan milik mereka yang telah disita oleh rakyat, serta mengadakan concordat dengan Paus Pius VII untuk membereskan konflik dengan kalangan agamawan yang terjadi selama revolusi.


c.    Memberikan kesejahteraan kepada rakyat, dengan cara menjamin keamanan, membuat jalan-jalan besar, memperbaiki dan merenovasi pelabuhan-pelabuhan, menjalankan kembali perindustrian yang selama revolusi mengalami kelumpuhan dengan memberikan subsidi terhadap perusahaan-perusahaan dalam negeri, memperindah kota, dan pembuatan fasilitas umum lainnya.


d.    Membawa kejayaan Prancis melalui berbagai kemenangan, sehingga di bawah pemerintahan Napoleon, Perancis berubah menjadi negara terbesar di Eropa dan sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan-lawannya. Hal tersebut terbukti dengan kemenangan Prancis yang gemilang dalam Perang Koalisi I (1792-1797) dan Perang Koalisi II (1799-1802).


    Kebijakan pemerintahan Napoleon tersebut berhasil dengan baik. Hal ini berkat kekuatan dan kepandaian dirinya dalam menjalankan pemerintahan. Rakyat Prancis begitu memuja dan mengagung-agungkan Napoleon sebagai penyelamat Perancis. Hal ini menyebabkan munculnya Napoleon sebagai penguasa mutlak, sehingga Napoleon mengangkat dirinya sebagai Kaisar Perancis dengan dinobatkan sebagai kaisar oleh Paus Pius VII pada 2 Desember 1804.


    Selama pemerintahannya, Napoleon gemar berperang dan sebagian besar ia kalah dalam peperangan, seperti pada saat melawan Inggris (1805) dan Rusia (1807). Pada 1812, Napoleon kembali mengerahkan pasukannya untuk melawan Rusia. Namun, akibat dari pukulan tentara Rusia dan musim dingin yang parah serta tak memadainya suplai pasukan Perancis, Napoleon pun mengalami kekalahan besar-besaran.


    Melihat kondisi tersebut, Austria dan Prusia merasa memiliki kesempatan dan bergabung untuk menjatuhkan Prancis di Leipzig. Pada Oktober 1813 Napoleon berhenti dan dibuang ke Pulau Elba, sebuah pulau kecil di lepas Pantai Italia. Pada 1815 ia berhasil melarikan diri dari Pulau Elba dan kembali ke Prancis. Setelah 100 hari kembali memerintah Perancis, Napoleon mengalami kekalahan yang mematikan di Waterloo saat melawan Inggris pada 8 Juni 1815. la pun ditangkap dan dipenjara di Pulau St.Helena, di mana kemudian ia meninggal akibat kanker pada 1821.

Post a Comment for "Napoleon Bonaparte Raja Louis XVI dan Revolusi Perancis"